Selasa, 16 Maret 2010

TAKTIK MENGHADAPI LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI

OLEH : DRS. TAWIL, M.Pd



Intisari
Liberalisasi pendidikan utamanya pendidikan tinggi yang dimotori General Agreement on Trade in Service (GATS) WTO tidak dapat dihindarkan lagi, sebab telah disepakati perdagangan bebas dunia untuk 12 sektor jasa termasuk di dalamnya adalah pendidikan tinggi. Disamping Indonesia sebagai anggota WTO, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan pendidikan tinggi bermutu, dan ikut terlibat dalam perdagangan dunia merupakan keharusan saat ini. Satu hal yang harus diwaspadai adalah bahwa globalisasi liberalisasi bisa berkecenderungan eksploitasi dan ekspansi negara-negara maju terhadap negara berkembang, termasuk dalam pendidikan utamanya pendidikan tinggi. Hal ini perlu diantisipasi dan dicarikan taktik menghadapinya, agar supaya Indonesia tetap dapat memanfaatkan arus globalisasi, namun tidak kehilangan jati diri bangsa dan mengemban amanat UUD 1945. Taktik tersebut diantaranya adalah perlu peninjauan kembali GATS WTO, komitmen peningkatan mutu pendidikan tinggi, dan peningkatan partisipasi masyarakat.

Kata kunci : Liberalisasi Pendidikan Tinggi

A. Pendahuluan
Nuansa dan aroma liberalisasi dan komersialisasi pendidikan utamanya pendidikan tinggi pasca General Agreement on Trade in Services (GATS) negara-negara anggota WTO (World Trade Organisation) sejak Mei 2005 nampaknya semakin jelas dan sulit dibendung sebab telah disepakati perdagangan bebas dunia untuk 12 sektor jasa, meliputi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, komputasi, pelatihan, pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, konstruksi, lingkungan, finansial, olahraga, pariwisata, akuntansi, transportasi. Pada tipologi ekonomi, bahwa kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi menjadi dalam tiga sektor, yakni sektor primer, sekunder, dan tertier. Sektor primer meliputi semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian; Sektor sekunder meliputi industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur, dan utilities; Sektor tertier meliputi industri untuk mengubah wujud benda fisik atau physical services, keadaan manusia atau human services, dan benda simbolik atau information and communication services. Sejalan dengan hal itu, WTO menetapkan bahwa pendidikan termasuk sektor tertier, sebab kegiatan pokoknya adalah menstransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang berketrampilan.
Sejak tahun 1980 an di negara-negara maju, sektor tersier utamanya perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002: 104-105). Diperkirakan pada 1994 sektor jasa telah menyumbangkan sekitar 70 % PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja, dan merupakan 20 % dari ekspor total negara Kangguru tsb. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai 14 milyar dolar USA atau sekitar Rp 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya akhir-akhir ini adalah jasa komputasi, pendidikan dan latihan. Fakta itulah yang menyebabkan negara-negara maju getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.
Sejak 1995 Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU no. 7/1994. Perjanjian tsb. mengatur tata perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali jasa non komersial atau tidak bersaing dengan penyediaan jasa lainnya. Indonesia dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa, dengan tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekitar 14 % dari usia 19-24 tahun, sementara itu perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah, mutu pendidikan juga rendah, maka Indonesia menjadi incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Agar kiprah GATS di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia maka intervensi pemerintah dalam sektor jasa harus dihilangkan.
Enam negara yang telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, dan pendidikan profesi, dan vokasi. Nah yang perlu diwaspadai adalah motif apa negara-negara tersebut mengincar, motif profit atau humanitarian.
Sikap waspada terhadap lembaga internasional seperti WTO dengan GATS nya untuk mengatur tata perdagangan pendidikan dan pelatihan di negara berkembang termasuk Indonesia memang perlu ditumbuhkan dan didukung dengan semangat nasionalisme yang tinggi, sebab pendidikan memiliki tiga tugas utama yakni mempreservasi, menstransfer dan mengembangkan iptek seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam menstransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (van Glinken: 2004).
Oleh sebab itu kita perlu tahu apa dan sejauh mana pengaruh perdagangan bebas atau liberalisasi terhadap pendidikan tinggi, dan taktik untuk menghadapinya.

B. Buah Internasionalisasi dan Globaslisasi
Antara internasionalisasi dengan globalisasi laksana kembar siam yang hampir sama pisiknya, tetapi berbeda watak dan sifatnya. Yang satu berkepribadian baik, santun; Dan yang lain brutal, jahat, dan tamak. Internasionalisasi berkepribadian baik, dan globalisasi berkecenderungan jahat. Yang keduanya sulit dihindarkan dalam tata kehidupan manusia
Iptek seni budaya tidak dapat dipisahkan dari proses internasionalisasi, dan bahkan mungkin merupakan buah dari internasionalisasi. Ya karena memang secara kodrati itulah yang harus terjadi, dimana manusia harus saling berinteraksi satu sama lain, negara satu dengan yang lain untuk saling berhubungan, saling memahami, saling bantu, saling belajar, give and take; Tetapi dalam proses internasionalisasi sering dibarengi globalisasi, sehingga kadang proses internasionalisasi tampak berbau akal-akalan, eksploitasi, ekspansi, penipuan, dan tetapi bisa kecanduan. Sebagai contoh globalisasi ekonomi, globalisasi budaya, globalisasi komunikasi, dsb.
Pendidikan dan khususnya pendidikan tinggi telah lama berkenalan dan larut dalam internasionalisasi, sebab memang banyak mendatangkan manfaat pengembangan iptek seni budaya, dan jarang yang mau memisahkan diri dari internasionalisasi. Dalam Pembukaan UUD 1945 pun diamanatkan “ … ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasrkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … “ (Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4).
Globalisasi menurut Stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antar negara, lembaga, dan aktornya. Karena itu interdependensi secamam itu lebih menguntungkan bagi negara-negara yang memiliki keunggulan ekonomi, dan teknologi. Padahal rancangan dan niat awal globalisasi bagi negara berkembang adalah untuk membuka peluang agar dapat berinternasionalisasi, berhubungan dengan negara lain melalui perdagangan untuk meningkatkan kesejahteraan negara dan bangsanya, tetapi dalam praktiknya sering berbuah pahit; Terjadi eksploitasi besar-besaran, rusaknya tata kehidupan, degradasi moral, melemahnya tanggung jawab pemerintah, penindasan, dll.
Pertanyaan untuk pendidikan tinggi terkait dengan globalisasi utamanya oleh fondamentalisme pasar yang harus dijawab adalah (1) peran apa yang harus dimainkan oleh pendidikan tinggi ketika ekspansi globalisasi kapitalisme neo-liberal telah menjadi kenyataan; (2) benarkah globalisasi kapitalisme menjanjikan peluang lebih baik bagi pendidikan tinggi dan bangsa Indonesia yakni meningkatkan mutu pendidikan dan mensejahterakan bangsa sebagaimana dikampanyekan dan dijanjikan oleh para ahli ekonomi Indonesia.
Sering kita tidak sadar bahwa lahirnya ekspansi globalisasi yang dilahirkan dari neo-liberalisme, adalah bersumber dari ideologi leberalisme yang membela kebebasan pasar, dan memaksa peran negara dan pemerintah semakin melemah. Tiga pilar lembaga yang menopang globalisasi adalah IMF, World Bank, dan WTO adalah lahir dari Washington Consensus (Rais: 2008, 15), dan menelorkan 10 rekomendasi buat negara-negara berkembang yang dilanda krisis ekonomi. Sepuluh rekomendasi tersebut adalah : (1) perdagangan bebas, (2) libralisasi pasar modal, (3) nilai tukar mengambang, (4) angka bunga ditentukan pasar, (5) deregulasi pasar, (6), transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta, (7) fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial, (8) anggaran berimbang, (9) reformasi pajak, dan (10) perlindungan atas hak milik dan hak cipta..Dengan ekspansi globalisasi ini segala sesuatu yang berharga dicaplok oleh neo-liberalisasi ekonomi global, termasuk air, bahan bangunan, kesehatan, karya seni, ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Akhirnya negara-negara berkembang yang terkena krisis semakin sekarat, sementara industri pertanian tak berdaya dikarenakan tidak mampu bersaing dengan pertanian negara-negara maju yang memperoleh proteksi dari pemerintah mereka.
C. Pengaruh Perdagangan Bebas Terhadap Pendidikan Tinggi
Globalisasi liberalisme dalam praktik berwatak fondamentalisme pasar yang berdampak besar pada lembaga dan kebijakan pendidikan tinggi baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Salah satu keuntungannya adalah kesempatan untuk menjalin pasar kerja global ke negara maju yang telah mampu mengembangkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge based economy, namun banyak pula kerugian yang harus diderita diantarnya adalah mahalnya beaya pendidikan, rontoknya nilai-nilai yang harus diperjuangkan dalam tujuan negara dan tujuan pendidikan, sebab neo-liberalisme memilki motif for profit. Kini komersialisasi pendidikan telah terasa, mereka yang kurang mampu ekonomi, maka akan sulit mendapatkan pendidikan tinggi, sehingga tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa semakin menjauh dari harapan. Yang berarti prinsip pengelolaan pendidikan formal sebagaimana Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dihianati (UU no 9/2009, bab II, pasal 4 ayat 2 butir f, jo UU no 20/2003 bab III, pasal 4 ayat 1).
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan tinggi sbb : mode 1 yang disebut cross-border supply, adalah lembaga pendidikan tinggi negara-negara maju menawarkan kuliah-kuliah nya melalui internet dan on-line degree program untuk diikuti warga di negara-negara yang memerlukan termasuk Indonesia, yang hal ini berarti keuntungan bagi negara maju diantaranya jasa IT, blogger dll; mode 2 yang disebut consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, yakni mahasiswa datang untuk belajarpada perguruan tinggi di negara maju, sudah barang tentu dikenakan bea pendidikan lebih mahal dibanding mahasiswa negara setempat, yang berarti keuntungan bagi negara maju; mode 3 yang disebut commercial presence, adalah kehadiran perguruan tinggi negara maju dengan membentuk partnership, subsidiary, twinnuing arrangement, dengan perguruan tinggi lokal, hal ini keuntungan bagi negara maju yakni bea pendidikan; dan mode 4 yang disebut presence of natural persons, adalah dosen dari negara maju datang mengajar pada lembaga pendidikan tinggi negara yang memerlukan, tentu bayaran yang diberikannya jauh lebih mahal dibanding dosen setempat. Selama ini promosi dan propaganda yang dilakukan WTO adalah mendorong agar pemerintah negera-negara anggota untuk tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis. Dari mana dana itu diperoleh, karena dana domestik sangat kurang maka menggunakan dana pinjaman dari World Bank, dan WTO, dulu pernah IMF. Hal inipun negara negara berkembang termasuk Indonesia tunduk, karena memang keterbatasan dana domestik, keinginan untuk mengikuti perkembangan global, dan tuntutan meningkatnya mutu pendidikan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASAIHL (Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning, seperti Malaysia, Muangthai, Filipina, dan Singapore, bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia sangat rendah, yakni pada tahun 2004 hanya 14 %, sementara Malaysia mencapai 40 %. Untuk mengejar atau meningkatkan tingkat partisipasi ini kandas, disebabkan sumber dana domestik pemerintah dan masyarakat sangat rendah, itulah sebabnya Indonesia tidak bisa menghindar ekspansi dari luar negeri, kalau memang ingin meningkatkan mutu akademik pendidikan tinggi. Akhirnya perdagangan bebas pendidikan tinggi tanpa batas atau borderless higher education market merajalela.
Tiga faktor yang mendorong borderless higher education market adalah (1) keterbatasan dana domestik, (2) meningkatnya permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, dan (3) tuntutan kemajuan teknologi informasi. Akhirnya perguruan tinggi negara-negara maju seperti Australia, Amerika Serikat dan Inggris dengan dilandasi pertimbangan for-profit menerima sebanyak-banyaknya mahasiswa luar negeri dengan membayar tinggi secara penuh, mendirikan kampus cabang di negara lain, kesepakatan twinning dengan perguruan tinggi lokal, menyediakan pendidikan jarak jauh secara e-learning, atau menghadirkan dosen ke negara berkembang yang memerlukan dengan bayaran yang tinggi
D. Taktik Manghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi
Nampaknya globalisasi liberalisasi pendidikan utamanya pendidikan tinggi sulit dihindari, dikarenakan kuatnya GATS-WTO, rendahnya kemampuan dalam negeri, tuntutan pendidikan bermutu, dan tuntutan penggunaan iptek yang berkembang didunia; Barang kali yang diperlukan adalah bagaimana taktik menghadapinya, agar kita tetap mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak mengorbankan jati diri, budaya dan nilai-nilai luhur lainnya.
Berikut ini tawaran taktik menghadapi liberalisasi pendidikan tinggi (1) Keberanian pemerintah untuk meninjau kembali isi GATS-WTO, dan kemauan untuk prioritas pendidikan tinggi tanpa memasukkan ke dalam perdagangan bebas; (2) Keberanian lembaga pendidikan tinggi, rektor, forum rektor, wali amanah, yayasan untuk menyikapi GATS-WTO secara arif, (3) Meningkatkan peran serta masyarakat untuk peduli pendidikan utamanya pendidikan tinggi agar terwujud pendidikan yang bermutu, (4) Meningkatkan pendekatan manajemen mutu terpadu atau total quality management (TQM) pada lembaga pendidikan, meningkatkan program akreditasi nasional, regional, dan internasional pada lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.
E. Kesimpulan
Pendidikan utamanya pendidikan tinggi merupakan bidang strategis guna meningkatkan mutu iptek seni budaya, mutu bangsa dan negara, untuk dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara Indonesia, kini semakin terancam dengan General Agreement on Trade Service (GATS)-WTO dengan globalisasi liberalisasi perdagangan bebas, dimana. Indonesia sebagai salah satu anggotanya berada dalam persimpangan yang serba sulit. Artinya disatu sisi ingin meningkatkan angka partisipasi kasar (APK), memajukan mutu pendidikan dan ikut berperan dalam perdagangan bebas, disisi lain tak mampu berbuat banyak kecuali harus ikut dalam WTO (World Trade Organization) yang disebabkan keterbatasan dana domestik, sementara di dalam WTO terikat GATS yang bagaikan menelan pil pahit. Artinya jika tidak ikut sulit maju, sebaliknya jika ikut harus menanggung resiko yakni semakin tereksploitasi oleh negara-negara maju.
Keberanian pemerintah untuk meninjau kembali GATS, menelorkan peraturan perundangan baru, meningkatkan mutu pendidikan tinggi dengan manajemen mutu terpadu dan akreditasinya, serta meningkatkan peran serta masyarakat, merupakan langkah yang harus segera diambil sebagai taktik menghadapi liberalisasi pendidikan tinggi, jika tidak maka nilai-nilai luhur dan jati diri bangsa bisa tergadaikan.


DAFTAR PUSTAKA

Rais, Mohammad Amien, 2008. Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, Yogyakarta: PPSK Press

Enders, Jurgen dan Oliver Fulton, Eds., 2002. Higers Education in a Globalizing World. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Stiglitz, Joseph E. 2003. Globalization and Its Discontents, New York: W.W. Norton & Co

Undang -Undang Dasar 1945.

UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU no. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Van Glinken, Hans, 2004. Globalization, Higher Education and Sustainable Development, Paper at First Asean-European Union Rectors’Conference Organized by Ministry of Higher Education of Malaysia, University of Malaysia, Delegation of the European Commission in Malaysia, and Asean-European Union Network Programme. Kuala Lumpur, October 4-6, 2004.



BIODATA PENULIS

Drs. Tawil, M.Pd, lahir di Sragen 08 Januari 1957. Lulus S1 Pendidikan Luar Biasa UNS 1980, Lulus S2 Manajemen Pendidikan UNY 2006, dan kini studi S3 Manajemen Pendidikan UNNES. Menjadi dosen Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah dpk pada Universitas Muhammadiyah Magelang sejak 1981 hingga sekarang.

Tidak ada komentar: